Rabu, 23 Mei 2012

Peringatan…peringatan!




(Salman Rusydie Anwar, dot) Hidup itu memang harus saling mengingatkan. Sebabnya sederhana; karena tidak semua orang selalu ingat. Tetapi untuk saling mengingatkan, kita tidak perlu menunggu orang lain terlebih dahulu mengalami lupa. Peringatan yang diberikan saat orang lain masih belum lupa dapat menjadi semacam penguat ingatan agar kita pada akhirnya tidak mudah mengalami lupa.
            Tetapi masalahnya, menerima peringatan dari orang lain itu sungguh perbuatan yang sangat berat lho. Apalagi orang yang memberi peringatan itu, yaa secara akademis lebih tinggi kita. Bulsyiitt…banget.
Saya sulit mendengar orang lain berceramah, memberi taushiyah jika akhirnya saya tahu kalau dia hanya lulusan sekolah sedang saya lulusan kuliah. Parahnya lagi, saya juga sulit menerima peringatan orang lain yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dari saya kalau pertama kali melihatnya saya sudah tidak suka. Entah tidak suka karena apa…yang penting tidak suka saja.
Meski begitu sulitnya menerima peringatan orang lain, saya dapat memahami tiga hal tentang diri saya, yang ketiganya saya anggap sebagai kesalahan terbesar saya. Pertama, apapun factor yang membuat saya tidak bisa menerima peringatan orang lain, yang jelas saya sudah kehilangan pelajaran penting yang terpapar di dalam isi peringatan itu.
Ini mutlak. Bukankah dalam sebuah peringatan selalu saja ada nilai-nilai positifnya, nilai-nilai lebihnya. Kita tidak mungkin disebut sedang memberi peringatan jika dari mulut kita keluar kata-kata misalnya, ”Yuk kita mabok-mabokan yuk.” Tetapi beda jika yang keluar dari mulut kita misalnya, “Hindari minum-minuman keras, biar tubuhmu sehat.” Karena itu, menolak mendengar peringatan sudah membuat saya kehilangan momentum untuk mendapatkan pelajaran atau setidaknya mengingat kembali pelajaran yang sudah saya dapatkan sebelumnya.
Kemudian yang kedua, saat telinga dan hati saya menolak menerima peringatan orang lain, saya sebenarnya sedang berusaha menyuburkan kesombongan saya. “Dia ngomong apa sih? Sok tahu saja.” Begitulah kemudian yang timbul di dalam hati saya. Karena kesombongan hati saya semakin subur, maka saya semakin sulit berubah mengingat rasa sombong di dalam hati saya itu seakan memaksa saya untuk tidak terpengaruh oleh datangnya peringatan-peringatan itu.
Anda bayangkan, apa jadinya seandainya pemain sepak bola tak mau mendengar peringatan pelatihnya hanya karena dia merasa pemain terhebat. Bukankah hebat-tidaknya pemain sepak bola itu juga ditentukan oleh berbagai peringatan dan arahan yang diberikan sang pelatih, yang menyaksikan langsung bagaimana si pemain beraksi. Cristian Ronaldo mungkin tidak akan menjadi legenda kalau dia tidak mau mendengar peringatan dan arahan pelatihnya.
Dan yang ketiga adalah, menolak dan tak menghargai peringatan orang lain adalah cara-cara yang mengakibatkan harga diri saya juga tak bakal dihargai oleh orang lain. Menyakitkan sekali saat kita tahu kalau ternyata orang lain tak menghargai kita sama sekali. Tetapi orang lain bisa menghargai kita sejauh kita bisa memberikan penghargaan yang sama kepada mereka.
Jadi, kalau misalnya suatu ketika Anda bertemu koruptor yang memberi nasehat tentang cara-cara menjadi manusia yang bertakwa misalnya, dengarkan saja nasehatnya, cermati saja peringatannya dan sesudah itu dekati dia lalu bisikkan dengan lembut;
“Congormu semanis madu…”

Peace Book, 24 Mei 2012.