(Salman Rusydie Anwar, dot) Hidup itu memang harus saling
mengingatkan. Sebabnya sederhana; karena tidak semua orang selalu ingat. Tetapi
untuk saling mengingatkan, kita tidak perlu menunggu orang lain terlebih dahulu
mengalami lupa. Peringatan yang diberikan saat orang lain masih belum lupa
dapat menjadi semacam penguat ingatan agar kita pada akhirnya tidak mudah
mengalami lupa.
Tetapi masalahnya, menerima
peringatan dari orang lain itu sungguh perbuatan yang sangat berat lho. Apalagi
orang yang memberi peringatan itu, yaa secara akademis lebih tinggi
kita. Bulsyiitt…banget.
Saya
sulit mendengar orang lain berceramah, memberi taushiyah jika akhirnya saya
tahu kalau dia hanya lulusan sekolah sedang saya lulusan kuliah. Parahnya lagi,
saya juga sulit menerima peringatan orang lain yang tingkat pendidikannya lebih
tinggi dari saya kalau pertama kali melihatnya saya sudah tidak suka. Entah tidak
suka karena apa…yang penting tidak suka saja.
Meski
begitu sulitnya menerima peringatan orang lain, saya dapat memahami tiga hal
tentang diri saya, yang ketiganya saya anggap sebagai kesalahan terbesar saya. Pertama,
apapun factor yang membuat saya tidak bisa menerima peringatan orang lain,
yang jelas saya sudah kehilangan pelajaran penting yang terpapar di dalam isi peringatan
itu.
Ini mutlak.
Bukankah dalam sebuah peringatan selalu saja ada nilai-nilai positifnya,
nilai-nilai lebihnya. Kita tidak mungkin disebut sedang memberi peringatan jika
dari mulut kita keluar kata-kata misalnya, ”Yuk kita mabok-mabokan yuk.” Tetapi
beda jika yang keluar dari mulut kita misalnya, “Hindari minum-minuman keras,
biar tubuhmu sehat.” Karena itu, menolak mendengar peringatan sudah membuat
saya kehilangan momentum untuk mendapatkan pelajaran atau setidaknya mengingat
kembali pelajaran yang sudah saya dapatkan sebelumnya.
Kemudian
yang kedua, saat telinga dan hati saya menolak menerima peringatan orang lain,
saya sebenarnya sedang berusaha menyuburkan kesombongan saya. “Dia ngomong apa
sih? Sok tahu saja.” Begitulah kemudian yang timbul di dalam hati saya. Karena kesombongan
hati saya semakin subur, maka saya semakin sulit berubah mengingat rasa sombong
di dalam hati saya itu seakan memaksa saya untuk tidak terpengaruh oleh
datangnya peringatan-peringatan itu.
Anda
bayangkan, apa jadinya seandainya pemain sepak bola tak mau mendengar
peringatan pelatihnya hanya karena dia merasa pemain terhebat. Bukankah hebat-tidaknya
pemain sepak bola itu juga ditentukan oleh berbagai peringatan dan arahan yang
diberikan sang pelatih, yang menyaksikan langsung bagaimana si pemain beraksi. Cristian
Ronaldo mungkin tidak akan menjadi legenda kalau dia tidak mau mendengar
peringatan dan arahan pelatihnya.
Dan yang
ketiga adalah, menolak dan tak menghargai peringatan orang lain adalah
cara-cara yang mengakibatkan harga diri saya juga tak bakal dihargai oleh orang
lain. Menyakitkan sekali saat kita tahu kalau ternyata orang lain tak
menghargai kita sama sekali. Tetapi orang lain bisa menghargai kita sejauh kita
bisa memberikan penghargaan yang sama kepada mereka.
Jadi,
kalau misalnya suatu ketika Anda bertemu koruptor yang memberi nasehat tentang cara-cara
menjadi manusia yang bertakwa misalnya, dengarkan saja nasehatnya, cermati saja
peringatannya dan sesudah itu dekati dia lalu bisikkan dengan lembut;
“Congormu
semanis madu…”
Peace
Book, 24 Mei 2012.